Beberapa bulan ke belakang rakyat kembali menjadi sasaran tembak dari adanya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Rakyat kembali tercekik lehernya dengan naiknya harga-harga bahan pokok utama, semisal beras, jagung, dan kedelai. Penderitaannya pun tidak kunjung berakhir dengan semakin langkanya barang-barang tersebut dipasaran, oleh karena ulah para pedagang nakal yang menimbun bahan-bahan pokok tersebut. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah kalimat yang cocok disandang oleh masayarakat pada saat itu.
Menarik untuk dicermati permasalahan yang tengah melanda Indonesia tersebut. Pasalnya, permasalahan mengenai “penderitaan” rakyat yang ditimbulkan oleh adanya sebuah kebijakan berulang terjadi yang ending-nya adalah rakyat menderita. Namun, pemerintah seperti cuek dan asyik saja terhadap permasalahan ini, atau bahkan mungkin pemerintah tidak mengakui dan merasa ini sebuah masalah. Pemerintah merasa—dengan tetap memberlakukan kebijakan menaikkan harga bahan pokok—hal tersebut adalah masalah publik dan bukan masalahnya. Padahal, sangatlah jelas bahwa kebijakan adalah produk dari pemerintah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa yang salah pada kebijakan tersebut?
Sedikit mengutip pendapat Thomas R. Dye bahwa kebijakan publik (public policy) adalah “anything government choose to do or not to do”. Maksudnya apapun yang pemerintah lakukan dan tidak lakukan itulah sebuah kebijakan. Ketika pemerintah diam pun disebut kebijakan, karena diam juga dinilai sebagai tindakan dan respon dari adanya suatu fenomena empiris. Kebijakan yang akhir-akhir ini sering membelenggu rakyat sejatinya diambil pemerintah untuk memecahkan masalah publik dan bukan untuk memperparahnya. Namun, ketika kebijakan tersebut sampai pada tataran teknis seringkali terjadi gangguan dari para pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dan, selalu ada korban dari adanya sebuah kebikajan yang dibuat.
Beberapa alasan (pembelaan) sempat dilontarkan oleh pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan, semisal langkanya pasokan barang dan melindungi para petani dari jatuhnya harga bahan pokok. Namun, kebijakan tersebut dirasa instant karena pemerintah kurang holistik dalam mapping masalah yang terjadi di lapangan. Tidak semua masalah dapat digolongkan ke dalam masalah publik. Karena masalah publik adalah masalah yang memiliki dampak yang luas dan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat bagi orang-orang yang tidak secara langsung terlibat. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk dapat lebih tajam dalam melihat permasalahan yang terjadi dan dengan bijak mengambil keputusan.
Akar Masalah
Ketika permasalahan yang terjadi mendapat perhatian banyak orang dan masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individu, pemerintahlah yang seharusnya berperan di sini. Dalam hal ini dituntut kepekaan yang tinggi dari pemerintah dalam memandang persoalan, apakah memang persoalan tersebut menjadi masalah publik atau tidak. Tentunya juga dibutuhkan pola pikir yang matang dan dewasa, bukan pola pikir yang instant. Karena pola pikirlah yang akan mempengaruhi hasil kebijakan. Pola pikir yang instant akan menghasilkan kebijakan yang instant pula.
Untuk dapat diangkat menjadi sebuah kebijakan, pemerintah biasanya membuat suatu agenda kebijakan terlebih dahulu. Masuk atau tidaknya ke dalam agenda pemerintah tergantung dari sifat dan dukungan stakeholder terhadap masalah tersebut. Salah satu cara agar masalah dapat masuk menjadi agenda pemerintah yakni dengan adanya dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan tersebut mengorganisasikan diri, biasanya dengan demonstrasi. Cara protes dengan demonstrasi dinilai masih ampuh untuk memasukkan persoalan ke dalam agenda pemerintah. Namun, sangatlah keliru jika pemerintah menjadikan suatu masalah menjadi masalah publik dengan indikatornya demonstrasi. Hal tersebut berarti pemerintah kurang matang dalam merumuskan masalah publik dan terkesan instan.
Suatu permasalahan tidak hadir begitu saja. Masalah tersebut haruslah didefinisikan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung terlibat. Tentunya perlu adanya pengalaman subjektif dari para pembuat kebijakan (policy maker). Di satu sisi pemerintah ingin melindungi hak petani dengan menaikkan harga barang. Namun, di lain sisi pemerintah juga dihadapkan pada kondisi rakyat yang carut marut jika kebijakan menaikkan harga tetap dilakukan. Dan, korban pun tidak akan bisa dihindari, entah itu bagi masyarakat (nonpetani) atau petani itu sendiri—yang pasti publiklah korbannya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa memang kebijakan publik menjadi sesuatu yang dilematis.
Harapan Publik
Dalam perumusan masalah publik, perlu dicermati dua hal. Pertama, adalah perumus masalah (individu atau kelompok). Para perumus masalah dengan latar belakang yang berbeda tentunya akan berbeda-beda pula dalam merumuskan masalah. Tanpa bisa dipungkiri lagi, perbedaan tersebut berakibat pada kebijakan yang diambil. Kebijakan pemerintah menyangkut naiknya harga bahan-bahan pokok menjadi contoh perbedaan pendefinisian masalah oleh para pembuat kebijakan (policy maker).
Publik tentunya mengharapkan agar para perumus kebijakan dapat melihat masalah dengan lebih dewasa dan menyeluruh serta mempertimbangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elitis semata. Masalah mana yang menjadi masalah publik dan bukan menjadi masalah publik, dan konsekuensi seperti apa yang akan ditimbulkannya. Pola pikir yang tertanam harus dapat menjadi motor penggerak yang positif dan ampuh dalam mengatasi masalah-masalah publik, dan bukan semakin memperparahnya.
Kedua, adalah menyangkut kompleksitas dan sifat masalah. Perlu adanya perhatian yang besar dari pemerintah mengenai permasalahan-permasalahan yang dipandang kompleks tersebut. Naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi contoh betapa kompleksnya suatu masalah. Banyak pihak yang terlibat, baik itu menjadi korban atau pihak yang diuntungkan dari kebijakan tersebut. Namun, yang terpenting adalah bagaimana caranya agar korban yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut dapat seminimal mungkin.
Publik berharap kompleksnya masalah bukan menjadi penghalang bagi pemerintah dalam melegitimasi alasan. Kompleksnya masalah harus menjadi warna tersendiri yang menghiasi suatu kebijakan yang diterapkan. Kompleksitas bukan menjadi persoalan yang menjadi persoalan adalah bagaimana masalah tersebut dapat terintegrasikan dan dicarikan jalan keluarnya.
Mengingat betapa pentingnya proses perumusan kebijakan, maka pemerintah diharapkan untuk hati-hati dalam merumuskannya. Pemerintah harus lebih tajam lagi dalam hal planning dan mapping masalah publik. Jika awalnya saja keliru, maka ke depannya pun pasti akan salah kaprah, karena perumusan kebijakan menjadi awal dan menempati susunan hierarki paling atas dalam hal kebijakan publik. Jika planning dan mapping-nya salah (bad mapping), maka pengimplementasiannya pun akan salah (bad executed). Sekali lagi perlu diingat, bahwa kebijakan instant yang menyengsarakan rakyat dihasilkan dari pola pikir instant para pembuat kebijakannya (policy maker) pula.
Readmore »»