Pendakian Gunung Slamet 3.428 MDPL, 29 Desember 2007

Saat musim kemarau telah beranjak—setelah beberapa bulan menghanguskan sebagian Pulau Jawa. Musim hujan pun perlahan menancapkan dirinya seiring berlalunya kemarau. Tanah Jawa yang semula gersang dan terbakar menjadi kembali basah dan hidup.

Sekilas tidak ada yang menarik dari pergantian musim tahun ini di dataran rendah. Namun, siapa yang sangka bahwa di atas sana terjadi sesuatu yang mengerikan. Amukan badai bak serigala yang mengamuk terjadi di ketinggian 3.428 MDPL.

Badai yang setidaknya akan membuat kami kalang kabut, berjalan entah kemana. Badai yang akan menjadikan kami rapuh dan begitu tidak berdaya.

Barangkali benar bahwa, “Alam tidak pernah bertoleransi…”.


Kami kalah dengan kabut, kami kalah dengan dingin, dan kami kalah dengan angin…

Saat itu, hanya ada Aku, Tuhan, dan Alam. Aku sebagai diri, Tuhan sebagai Sang Pencipta, dan alam sebagai saudara. Jika kami semua sadar akan itu, niscaya kami tidak akan tersesat.

Suatu kejadian yang telah menjadikan kami senantiasa sadar dan semakin faham bahwa manusia hanyalah mahluk lemah dan tak berdaya.

Readmore »»

Kebijakan Instan Hasil Dari Pola Pikir Instan

Beberapa bulan ke belakang rakyat kembali menjadi sasaran tembak dari adanya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Rakyat kembali tercekik lehernya dengan naiknya harga-harga bahan pokok utama, semisal beras, jagung, dan kedelai. Penderitaannya pun tidak kunjung berakhir dengan semakin langkanya barang-barang tersebut dipasaran, oleh karena ulah para pedagang nakal yang menimbun bahan-bahan pokok tersebut. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah kalimat yang cocok disandang oleh masayarakat pada saat itu.

Menarik untuk dicermati permasalahan yang tengah melanda Indonesia tersebut. Pasalnya, permasalahan mengenai “penderitaan” rakyat yang ditimbulkan oleh adanya sebuah kebijakan berulang terjadi yang ending-nya adalah rakyat menderita. Namun, pemerintah seperti cuek dan asyik saja terhadap permasalahan ini, atau bahkan mungkin pemerintah tidak mengakui dan merasa ini sebuah masalah. Pemerintah merasa—dengan tetap memberlakukan kebijakan menaikkan harga bahan pokok—hal tersebut adalah masalah publik dan bukan masalahnya. Padahal, sangatlah jelas bahwa kebijakan adalah produk dari pemerintah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa yang salah pada kebijakan tersebut?

Sedikit mengutip pendapat Thomas R. Dye bahwa kebijakan publik (public policy) adalah “anything government choose to do or not to do”. Maksudnya apapun yang pemerintah lakukan dan tidak lakukan itulah sebuah kebijakan. Ketika pemerintah diam pun disebut kebijakan, karena diam juga dinilai sebagai tindakan dan respon dari adanya suatu fenomena empiris. Kebijakan yang akhir-akhir ini sering membelenggu rakyat sejatinya diambil pemerintah untuk memecahkan masalah publik dan bukan untuk memperparahnya. Namun, ketika kebijakan tersebut sampai pada tataran teknis seringkali terjadi gangguan dari para pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dan, selalu ada korban dari adanya sebuah kebikajan yang dibuat.

Beberapa alasan (pembelaan) sempat dilontarkan oleh pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan, semisal langkanya pasokan barang dan melindungi para petani dari jatuhnya harga bahan pokok. Namun, kebijakan tersebut dirasa instant karena pemerintah kurang holistik dalam mapping masalah yang terjadi di lapangan. Tidak semua masalah dapat digolongkan ke dalam masalah publik. Karena masalah publik adalah masalah yang memiliki dampak yang luas dan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat bagi orang-orang yang tidak secara langsung terlibat. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk dapat lebih tajam dalam melihat permasalahan yang terjadi dan dengan bijak mengambil keputusan.

Akar Masalah


Ketika permasalahan yang terjadi mendapat perhatian banyak orang dan masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individu, pemerintahlah yang seharusnya berperan di sini. Dalam hal ini dituntut kepekaan yang tinggi dari pemerintah dalam memandang persoalan, apakah memang persoalan tersebut menjadi masalah publik atau tidak. Tentunya juga dibutuhkan pola pikir yang matang dan dewasa, bukan pola pikir yang instant. Karena pola pikirlah yang akan mempengaruhi hasil kebijakan. Pola pikir yang instant akan menghasilkan kebijakan yang instant pula.

Untuk dapat diangkat menjadi sebuah kebijakan, pemerintah biasanya membuat suatu agenda kebijakan terlebih dahulu. Masuk atau tidaknya ke dalam agenda pemerintah tergantung dari sifat dan dukungan stakeholder terhadap masalah tersebut. Salah satu cara agar masalah dapat masuk menjadi agenda pemerintah yakni dengan adanya dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan tersebut mengorganisasikan diri, biasanya dengan demonstrasi. Cara protes dengan demonstrasi dinilai masih ampuh untuk memasukkan persoalan ke dalam agenda pemerintah. Namun, sangatlah keliru jika pemerintah menjadikan suatu masalah menjadi masalah publik dengan indikatornya demonstrasi. Hal tersebut berarti pemerintah kurang matang dalam merumuskan masalah publik dan terkesan instan.

Suatu permasalahan tidak hadir begitu saja. Masalah tersebut haruslah didefinisikan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung terlibat. Tentunya perlu adanya pengalaman subjektif dari para pembuat kebijakan (policy maker). Di satu sisi pemerintah ingin melindungi hak petani dengan menaikkan harga barang. Namun, di lain sisi pemerintah juga dihadapkan pada kondisi rakyat yang carut marut jika kebijakan menaikkan harga tetap dilakukan. Dan, korban pun tidak akan bisa dihindari, entah itu bagi masyarakat (nonpetani) atau petani itu sendiri—yang pasti publiklah korbannya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa memang kebijakan publik menjadi sesuatu yang dilematis.

Harapan Publik

Dalam perumusan masalah publik, perlu dicermati dua hal. Pertama, adalah perumus masalah (individu atau kelompok). Para perumus masalah dengan latar belakang yang berbeda tentunya akan berbeda-beda pula dalam merumuskan masalah. Tanpa bisa dipungkiri lagi, perbedaan tersebut berakibat pada kebijakan yang diambil. Kebijakan pemerintah menyangkut naiknya harga bahan-bahan pokok menjadi contoh perbedaan pendefinisian masalah oleh para pembuat kebijakan (policy maker).

Publik tentunya mengharapkan agar para perumus kebijakan dapat melihat masalah dengan lebih dewasa dan menyeluruh serta mempertimbangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elitis semata. Masalah mana yang menjadi masalah publik dan bukan menjadi masalah publik, dan konsekuensi seperti apa yang akan ditimbulkannya. Pola pikir yang tertanam harus dapat menjadi motor penggerak yang positif dan ampuh dalam mengatasi masalah-masalah publik, dan bukan semakin memperparahnya.

Kedua, adalah menyangkut kompleksitas dan sifat masalah. Perlu adanya perhatian yang besar dari pemerintah mengenai permasalahan-permasalahan yang dipandang kompleks tersebut. Naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi contoh betapa kompleksnya suatu masalah. Banyak pihak yang terlibat, baik itu menjadi korban atau pihak yang diuntungkan dari kebijakan tersebut. Namun, yang terpenting adalah bagaimana caranya agar korban yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut dapat seminimal mungkin.

Publik berharap kompleksnya masalah bukan menjadi penghalang bagi pemerintah dalam melegitimasi alasan. Kompleksnya masalah harus menjadi warna tersendiri yang menghiasi suatu kebijakan yang diterapkan. Kompleksitas bukan menjadi persoalan yang menjadi persoalan adalah bagaimana masalah tersebut dapat terintegrasikan dan dicarikan jalan keluarnya.

Mengingat betapa pentingnya proses perumusan kebijakan, maka pemerintah diharapkan untuk hati-hati dalam merumuskannya. Pemerintah harus lebih tajam lagi dalam hal planning dan mapping masalah publik. Jika awalnya saja keliru, maka ke depannya pun pasti akan salah kaprah, karena perumusan kebijakan menjadi awal dan menempati susunan hierarki paling atas dalam hal kebijakan publik. Jika planning dan mapping-nya salah (bad mapping), maka pengimplementasiannya pun akan salah (bad executed). Sekali lagi perlu diingat, bahwa kebijakan instant yang menyengsarakan rakyat dihasilkan dari pola pikir instant para pembuat kebijakannya (policy maker) pula.

Readmore »»

“GLOBALISATION=THE MASS KILLER”

“The worth of state, in the long run is the worth of the individuals composing it.”
John Stuart Mill

Nilai suatu Negara, dalam jangka panjang adalah kumpulan nilai dari individu-individu yang terhimpun di dalamnya. Mudahnya adalah bahwa kesuksesan suatu bangsa merupakan akumulasi dari kesuksesan individu. Apakah ini berlaku untuk semua Negara? Ya , jawabannya. Lalu, apakah ini juga berlaku untuk Indonesia? Sudah pasti, jawabannya. Hal tersebut menjadi sangat ironis memang, ketika di negeri ini terdapat banyak sekali orang cerdas namun negeri ini juga tidak kunjung bangkit dari segala keterpurukannya.
Jika melihat ungkapan dari John Stuart Mill di atas, sebenarnya tidak ada yang kurang dari negeri yang namanya Indonesia. Bangsa dengan sejuta pulau dan beribu-ribu suku bangsa serta nilai-nilainya yang sangat mulia ini masih tetap terpuruk dengan virus korupsinya. Apa yang salah dalam negeri ini? Mungkin itu semua harus menjadi bahan renungan dan tugas kita bersama untuk mengatasinya.
Pembangunan menjadi momok yang terkadang sangat menakutkan bagi sebagian masyarakat. Orang akan selalu merasa seperti itu karena pembangunan, baik fisik atau non-fisik, yang didengung-dengungkan oleh pemerintah tidak kunjung terasa oleh rakyat. Entah terkesan terlalu dibuat-buat atau tidak. Tetapi, yang jelas hal seperti itulah yang sekarang sedang dirasakan oleh masyarakat kita.

Pembangunan secara sederhana diartikan sebagai proses multi dimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga-lembaga nasional dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality) dan pemberantsaan kemiskinan absolut. (Todaro dalam White, 1982, 3). Sebenarnya ada banyak teori mengenai pembangunan yang lain. Untuk sebagai pembanding, berikut saya kutip dari salah satu tokoh mengenai teori pembangunan yang lain, salah satunya yaitu Pieterse (2001,1) yang terkenal dengan istilah “The end of development”. Ia memepertanyakan makna pembangunan yang saat ini mengarah atau memiliki kecenderungan pada globalisasi dan regionalisasi yang menjadi standar pembangunan suatu bangsa, selain itu agen-agen pembangunan lama (Negara) digantikan lembaga internasional & “market force”.dan yang terakhir menurutnya dipertanyakannya konsep pembangunan klasik yang tidak mampu menjawab masalah-masalah kontemporer pembangunan.
Berbeda dengan yang pertama, yang kedua ini lebih menekankan pada konteks globalisasi. Masaaki Kotabe (1992) menyatakan bahwa globalisasi adalah proses memfokuskan sumber daya (manusia, uang dan asset fisik) dan tujuan-tujuan dari suatu organisasi untuk memperoleh kesempatan dan menanggapi ancaman global.
Ketika kita berbicara mengenai pembangunan, maka kita juga berbicara tentang globalisasi. Pembangunan dan globalisasi merupakan dua kata yang nampaknya sudah menyatu dan mendarah daging. Orang selalu akan mengaitkan pembangunan dengan globalisasi atau juga sebaliknya karena memang seperti itu kenyataannya dan nampaknya akan tetap terus seperti itu.
Ada dua faktor utama yang menjadi trend yang mengarah pada globalisasi besar-besaran, antara lain :
1. Turunnya hambatan dalam arus masuk dan keluar produk, jasa dan modal yang terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia II
2. Perubahan teknologi khususnya perkembangan yang dramatis yang terjadi tahun-tahun belakangan ini di bidang komunikasi, proses informasi dan teknologi transportasi.
Selanjutnya adalah, apakah praktek pembangunan dan globalisasi semudah yang dibayangkan oleh banyak orang? Dalam film garapan John P. Filner, seorang akademisi yang banyak mengkritik kebijakan-kebijakan Amerika, yang berjudul “The Rulers Of The World” ada sudut pandang lain yang disuguhkan dalam film yang berdurasi kurang lebih 56 menit itu. Globalisasi bukan sebagai sarana dalam pembangunan lagi, melainkan merupakan sebuah mesin pembunuh masal. Sebuah mesin yang secara tidak disadari akan membunuh banyak nyawa-nyawa dari negara yang terkena dampaknya.
Negara-negara dunia ketiga lah yang paling banyak terkena dampaknya, tidak terkecuali Indonesia. Walaupun dampaknya sudah terasa sejak berakhirnya Perang Dunia II, namun globalisasi sendiri baru muncul di Inggris sekitar tahun 1980-an. Globalisasi hanya memberi dampak buruk bagi negara-negara khususnya di negara dunia ketiga. Hal senada disampaikan oleh Pramudya Ananta Toer yang juga seorang sastrawan yang peka terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul di negeri ini. menurutnya globalisasi merupakan bentuk lain dari penjajahan barat terhadap Indonesia. Barat masih tetap menjajah Indonesia dengan cara yang lebih halus namun lebih menyakitkan yaitu dengan globalisasi yang termasuk di dalamnya IMF (International Monetary Foundation).
Barat dengan terang-terangan menjajah Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lainnya lewat globalisasimya. Bagaimana IMF menjelma menjadi malaikat baik hati yang menawarkan bantuan ke berbagai negara-negara lain dan setelah itu berubah menjadi iblis yang sangat menyeramkan. Iblis yang siap melahap siapapun yang ditemuinya di manapun ia berada. Apakah ini salah IMF ataukah salah negeri kita yang terlalu lemah sehingga dengan sangat mudah diterkamnya? Sebuah pertanyaan yang mungkin perlu perenungan yang lama untuk kemudian menjawabnya.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana kelicikan Barat yang digawangi oleh Amerika Serikat ini. Barat melakukan konspirasi yang bernama “Timelife” pada tahun 1967. Sebuah konspirasi yang tentunya sangat menguntungkan bagi para investor pada saat itu. Pembentukan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank yang dibentuk pada suatu pertemuan di Bretton Woods tersebut merupakan dampak dari runtuhnya soviet. Keduanya pada dasarnya memiliki tujuan masing-masing, seperti IMF yang merupakan sebuah lembaga yang memepertahankan tatanan (keteraturan) dalam sistem moneter internasional dan World Bank adalah mempromosikan pembangunan ekonomi secara global. Pendirian dua institusi tersebut merupakan dampak yang sangat besar adanya globalisasi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi korbannya. Negeri ini mengalami krisis yang berkepanjangan dari tahun 1997 sampai sekarang walaupun Indonesia kini sudah terlepas dari cengkraman World Bank dan IMF. Hal itu diperparah dengan adanya praktek korupsi yang nampaknya sudah mendarah daging di Indonesia. Menurut Roland salah seorang reporter dari BBC bahwa konspirasi yang terjadi sejak rezim Suharto berkuasa ditunggangi oleh Inggris dan Amerika Serikat. Krisis yang berkepanjangan ini menjadi sebuah bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan meluluhlantakkan Indonesia. Hal tersebut hanya masalah waktu saja. Dengan terus memberikan pinjamannya, IMF dan World Bank tetap terus dapat menyetir Indonesia dan negara-negara dunia ketiga kemanapun yang dia inginkan.
Kekayaan yang dicuri Soeharto dan kroninya menimbulkan kesengsaraan dan sekarang rakyat miskin yang harus menanggung semuanya itu, demikian Dita Sari, ketua salah satu organisasi buruh, mengungkapkan. Apakah itu adil? Tentu semua orang pun tidak akan ada yang mengatakan hal itu adil jika ditanya mengenai hal itu. Itulah kira-kira gambaran keadaan yang telah ditinggalkan oleh “keteladanan” Suharto, IMF dan World Bank. Protes keras pun dilayangkan kepada Wakil Direktur IMF Stanley Fitcher. Akan tetapi, dia membantah pernyataan yang mengatakan bahwa hutang sebagai penyebab kemiskinan. Menurutnya kemiskinan itu dihilangkan bukan dengan penghapusan hutang tetapi bagaimana suatu sistem ekonomi yang digunakan pada negara tersebut. Stanley Fitcher mencontohkan salah satunya dengan perhatian kepada rakyat miskin, karena, menurutnya, hutang itu merupakan hal yang wajar bagi negara yang tidak memiliki modal dalam menjalankan pembangunan di negaranya. Modal yang dipinjamkan dijadikan modal awal yang nantinya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Jika kita hanya melihat kondisi kekinian, kita mudah merasa tidak berdaya dan larut dalam keadaan yang menghanyutkan ini. Hal ini nampaknya menjadi wajar dan dapat sekali dipahami. Situasi dimana ketika kita juga ikut-ikutan menyalahkan seorang Soros, IMF, World Bank, presiden, sistem pendidikan dan lainnya. Suatu reaksi yang lahir dari adanya sebuah realita yang sangat sulit sekali untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat negeri ini. Sebuah masyarakat dan bangsa yang besar yang bercita-cita menuju masyarakat yang madani. Cita-cita luhur sebuah negeri yang agung.
Saya jadi teringat ketika seorang Che Guevara, seorang revolusioner Kuba, yang dengan tulusnya menyatakan simpatinya terhadap negara-negara di Asia ketika itu. Bagaimana dia yang seorang sosialis menyatakan solidaritasnya untuk Asia dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Barat dan Amerika. Hal itu hanya dapat lahir dari hati seorang nasionalis yang merasa tergugah hatinya untuk menuju ke arah negeri yang lebih baik lagi. Semoga kita juga bisa untuk peka dan menyatakan rasa simpati kita ke dalam sebuah tindakan konkret sehingga bangsa ini bisa terlepas dari belenggu Barat dan untuk kemudian menjadi bangsa yang disegani di alam raya ini.

Readmore »»

Recent Post

Recent Comment

About Me

tegal, jatinangor, bandung, jawa, Indonesia
seorang insan yang tak pernah lepas dari segelas kopi item... seOrang alumnus SDN Dinuk, SMPN 3 Teal, dan SMAN 1 Tegal. Sekarang sedang menempuh S1 pada Jurusan Administrasi Negara FISIP UNPAD 2004-...? seOrang yang senantiasa brusaha aktif berpikir, berkarya, serta mengabdi